Cerita Pendek "Hiruk Kesibukan" | Catatan Nadia

        “Ra, aku gak suka yaa sama sikap kamu tadi. Apalagi itu di depan orang banyak, mungkin bagi sebagian orang itu hal biasa. Namun kalau boleh jujur aku tersinggung dengan sikap dan perkataan kamu tadi.” Ucap Atlas yang menatap mataku dengan tatapan tajam.


Aku menghela nafas, sedikit menyesal karena mengucapkan kata-kata yang membuat Atlas tersinggung. Apalagi tadi juga ada Zikri, Rahman dan Fia di laboratorium tempat kami praktek mata kuliah Algoritma.


“Seriusan aku minta maaf, aku gak bermaksud membuat kamu tersinggung. Namun, kamu tau gak rasanya udah berharap besar ke orang, tapi gak sesuai ekspektasi?” Aku balik menatap matanya tak kalah tajam.


“Gak semua hal harus sesuai sama harapan dan ekspektasi kamu, Nara!” Atlas meninggikan suaranya satu oktaf.


Aku tersentak, tidak percaya jika kata-kata itu keluar dari mulutnya. Aku langsung tersadarkan jika aku sudah sangat egois disini. Aku selalu memaksa Atlas untuk menjadi apa yang ada diekspektasi dan harapanku. Padahal laki-laki itu mempunyai kehidupan dan kebiasaan yang sudah lama dia lakukan.


“Sebenarnya aku udah ada niatan untuk ngasih tau kamu semuanya, tapi melihat respon kamu tadi jujur aku jadi ragu sama kamu. Ra, bahkan kamu gak tau alasan aku ngasih tau Haikal tentang kesibukan aku itu apa, tapi kamu sudah merasa terhianati.” Atlas kembali membuka suara karena melihat aku yang hanya diam.


“Bahkan Haikal lebih dulu tau aku melakukan kesibukan itu, jauh sebelum aku bilang ke kamu kalau aku ada kesibukan lain disini. Sekarang terserah kamu mau berfikiran kayak gimana, percuma aku jelasin ke kamu, gak ada gunanya.” Atlas menyandang tasnya dan pergi keluar dari laboratorium meninggalkan aku yang masih diam membisu.


Lagi-lagi aku menarik nafas panjang, sedikit frustasi dengan masalah yang tiba-tiba muncul diantara hubungan baik kami. Padahal beberapa jam yang lalu kami masih baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun.


Aku sadar jika aku sangat egois dan terlalu mendominasi hubungan pertemanan ini. Tak jarang aku memaksa Atlas untuk melakukan apa yang aku inginkan. Apalagi aku tau jika tiga hari belakangan Atlas memiliki banyak masalah, termasuk masalah keluarga dan organisasinya di kampus ini. Malangnya, aku sebagai teman bukan membantunya menghadapi masalah yang ada, tapi malah menambah deretan masalah yang tengah dihadapi Atlas. 


Aku memasukan buku catatan kedalam tas, keluar dari lab komputer untuk pulang. Menuruni tangga sambil terus berfikir bagaimana cara untuk meminta maaf kepada Atlas. Jujur aku tidak ingin pertemanan kami hancur hanya karena salah paham. Apalagi dia adalah teman terdekatku untuk membahas tugas dan materi yang ada di kampus.


Nama aku, Nara Arunika Senja. Perempuan berusia 19 tahun yang baru semester dua diasalah satu Universitas Negeri di dalam kota dengan jurusan Teknik Elektro. Jurusan yang merupakan rekomendasi dan perintah dari keluarga. Aku tidak punya power yang besar untuk menolak perintah orang tua tentang masa depan yang mereka harapkan untuk anak terakhirnya.


Kehidupan kuliah yang dulunya aku rasa sangat menyenangkan, ternyata tidak seindah yang aku bayangkan. Jauh dari rumah, tinggal disebuah kos yang aku fikir akan membuat aku bebas pergi kemana saja. Ternyata, hidup bersama orang tua dan keluarga jauh sangat menyenangkan dibanding hidup mandiri di kota orang sendirian. Setiap hari aku akan terus kebinggungan akan makan dengan apa. Apalagi aku adalah jenis manusia yang tidak begitu menyukai ayam. Memang aneh sekali jika ada anak kos yang tidak menyukai olahan ayam. 


Aku terus berjalan meninggalkan gerbang kampus untuk menuju ke rumah kos yang delapan bulan ini menjadi tempatku untuk pulang. Isi kepalaku sangat berisik, memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi diesok hari. Belum lagi deretan laprak yang harus aku kerjakan, juga dengan beberapa materi rangkaian listrik yang belum bisa aku kuasai sepenuhnya.


Aku mengeluarkan handphone dari dalam tas, menggulir layar untuk mencari nama Atlas dideretan kontak WhatsApp yang memenuhi layar benda pipih itu.



Nara Arunika Senja   14:36

Aku gak ngerti kenapa jadi kamu yang marah. Padahal kamu tau, aku udah nanya masalah kesibukan kamu itu sejak tanggal 2 Oktober dan sekarang udah tanggal 29 Mei ditahun yang berbeda. 

Namun kamu bilang belum saatnya aku tau dan gak ada orang lain yang tau. 

Ternyata Haikal tau itu, emang kamu cuma anggap pertemanan kita ini hanya sebatas mutualisme dalam kehidupan, tugas dan nilai di kampus aja.


Nara Arunika Senja 14:37

Kamu gak pernah menggangap aku sebagai seorang teman. Cuma ekspektasi aku aja yang ketinggian dan menganggap kamu teman dekat aku.



Tak berselang lama notifikasi pesan masuk, aku membuka room chat bersama Atlas.


Atlas 14:38

Terserah Nara lah.



Demi membaca pesan tiga kata itu, aku serasa ingin menimpuk wajah Atlas dengan buku tebal. Tidak bisakah beliau membalas pesanku dengan balasan yang lebih wajar? Sejak kapan ada kata terserah dalam percakapan kami. Aku paling tidak suka dengan jawaban terserah, sebab itu tidak menjawab pertanyaan sama sekali. Kata terserah itu tidak ada dalam kata ilmiah, tidak terdeteksi maknanya apa.


Aku mempercepat langkah agar segera sampai di kamar kos. Rasanya energiku sudah sangat terkuras karena perdebatan dengan Atlas. Tiba-tiba handphone yang berada digengamanku berbunyi. Ada panggilan telfon dari Tita yang merupakan teman sekelasku waktu SMA. Kami masih berhubungan baik karena berkuliah di kota yang sama, meskipun di universitas yang ada.


Aku menggeser icon hijau, menjawab panggilan dari Tita yang dulunya juga sahabat baikku saat masa olimpiade di SMA. Kami sering tidak masuk kelas karena ada dispensasi untuk pelatihan olimpiade.


“Hallo Ta, kenapa?” tanyaku to the point.


“Weekend sibuk gak Ra?” tanya Tita dari seberang sana.


“Kayaknya enggak Ta, kenapa tu?”


“Mau ngajak ngumpul bareng sama anak kelas yang kuliah disini,”


“Hmm boleh, kabari aja yaa kapan dan dimana. Insyaallah kalau free, aku datang.”


“Oke see you Ra,”


“ See you,” 


Panggilan terputus, aku mengingat kegiatan dan jadwal diminggu ini. Sepertinya memang tidak ada kegiatan yang penting dan mendesak untuk aku lakukan diwaktu libur. Tidak terlalu buruk untuk kembali bertemu dengan teman lama yang sudah memiliki kesibukan yang berbeda. 


Aku melanjutkan langkah, tanpa melupakan kekesalanku kepada Atlas. Manusia itu memang benar-benar menguji kesabaranku. Sampai di kamar kos, aku langsung merebahkan tubuh tanpa mengganti baju. Aku menatap langit-langit kamar sambil terus berfikir. Nasib punya sifat pemikir dan overthingking, sedikit saja perubahan sikap orang lain akan menjadi pertanyaan diotakku. Aku akan selalu memikirkan alasan orang itu berbuat demikian serta kemungkinan lainnya.


Apalagi masalah sekarang, Atlas dengan terang-terangan menyatakan jika dia tersinggung dengan ucapanku. Jujur aku sangat merasa bersalah, fokusku bukan lagi kenapa dia tidak mau memberi tau kesibukannya, melainkan memperbaiki hubungan kami. Bagaimana cara agar aku untuk mendapatkan kata maaf darinya, juga bagaimana agar pertemanan ini tidak tiba-tiba merenggang begitu saja. 


Aku tidak suka kehilangan. Aku tidak suka jika orang terdekat pergi dan menjauh. Aku tidak mau hubungan baik yang sudah dibangun selama ini menjadi hancur karena salah paham. 


Aku sangat membenci diriku sendiri, saat aku mengetahui jika aku menyakiti orang lain. Aku benar-benar merasa bersalah untuk itu semua. Aku merasa bertanggung jawab untuk rasa sakit yang aku berikan, walaupun aku melakukakan itu bukan karena sengaja.


Aku mengambil handphone, salah satu hal yang bisa aku lakukan sekarang hanya menelfon Bunda yang ada di rumah.


Tiga kali suara panggilan terhubung, layar handphoneku langsung menampilkan wajah cantik Bunda yang sedang memasak di dapur rumah kami.


“Hallo sayang, tumben banget nelfon jam segini. Bunda lagi masak nih,” Bunda menganti kamera menjadi kamera belakang sampai aku bisa melihat wajan goreng milik Bunda.


Aku tersenyum tipis, tak bisa dielakan jika aku sangat merindukan suasana di rumah. Kehangatan dan kenyamanan di rumah tidak akan pernah bisa aku temukan di kota ini. 


“Pengen ngomong sama Bunda aja, Ra baru pulang kuliah Bun.” Aku mengadu dengan wajah cemberut yang dibuat-buat.


Bunda diseberang sana hanya menggelengkan kepalanya, tangan bunda lihai mengupas kulit wortel, dilayar juga terlihat ada kentang dan sayuran lainnya. Sepertinya Bunda menyandarkan handphonenya dikotak tisu yang ada dimeja makan kami. Agar aku bisa melihat kegiatan Bunda yang sibuk dengan pisau digengamannya.


“Gimana kuliahnya, aman aja kan?” Bunda sesekali melirik kelayar handphonenya untuk memastikan video call itu masih tersambung.


“Aman Bun, semua berjalan dengan baik.” Aku tersenyum diujung kalimat, berusaha menyakinkan Bunda jika anak bungsunya baik-baik saja disini.


“Baguslah kalau gitu, tapi sayangnya Bunda udah kenal kamu sejak 19 tahun yang lalu. Jadi Bunda tau, bagaimana kamu yang baik-baik saja dan bagaimana kamu jika ada masalah.” Bunda menatap wajahku yang ada dilayar handphonenya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang.


Aku tersenyum tipis, begitulah Bunda. Perempuan yang sekarang sudah berumur 60 tahun itu akan selalu hangat dan memperlakukan aku layaknya anak kecil. Bagi Bunda aku akan selalu menjadi anak kecilnya, tidak peduli umurku sudah dewasa bahkan jika nanti sudah menjadi orang tua.


Peran aku dihidup Ayah dan Bunda tetap menjadi anak kecil mereka selamanya. Anak manja, tidak bisa apa-apa, anak kecil yang akan selalu mengadu untuk hal yang tak bisa dikerjakan sendiri. Dan aku menyukai peran itu, aku lebih menyukai peran menjadi anak manja Ayah dan Bunda dibanding title mahasiswa yang sekarang sedang aku jalani dengan sekuat tenaga.


“Kok diam, cerita dong ada apa. Bunda pengen tau apa yang menganggu fikiran Ra sekarang.” 


Aku tersadar dari lamunanku. Aku tersenyum tipis melihat Bunda yang sibuk mengupas kulit kentang. Jika aku di rumah, itu adalah jobdesk ku jika Bunda memasak.


“Tadi Ra berantem sama temen kelas di kampus, ehh bukan berantem juga sih. Cuma ada perdebatan kecil aja.” Aku meralat ucapanku. 


Memang ini tujuan aku menelfon Bunda, aku ingin menceritakan kesalapahaman antara aku dan Atlas. Aku ingin mendengar pendapat Bunda, walaupun sebenarnya aku sudah tau apa yang harus aku lakukan untuk menyelesaikan kesalapahaman yang ada.


“Oiyaa, kenapa bisa? Ada masalah apa? Setau Bunda dari dulu kamu jarang banget ada masalah sama temen sekelas.”


“Nama teman Ra itu Atlas, dia satu-satunya teman kelas Nara yang sering bahas dan ngerjain tugas bareng Ra. Dia anaknya juga rajin gitu Bun, peduli sama setiap tugas, gak harus mepet deadline baru dikerjain.” Aku memulai prolog cerita.


“Berarti sama kayak kamu dong, kalau ada tugas sebisa mungkin dikerjakan diawal waktu.” Komentar Bunda yang tangannya tetap bergerak mengupas kulit kentang.


“Iya, maka dari itu Ra suka berteman sama dia. Dibanding teman yang lain, Ra lebih suka bertanya dan ngerjain tugas bareng Atlas.”


“Terus?”


“Dulu Atlas itu pernah bilang ke Ra kalau dia ada kesibukan lain, waktu itu dia juga lagi ikut seleksi himpunan dan organisasi kampus. Terus dia bilang ke Ra kalau gak bisa mengerjakan tugas lebih awal karena banyak kesibukan.”


“Terus-terus?” tanya Bunda semakin bersemangat mendengarkan kelanjutan ceritaku.


“Yaa, waktu dia bilang gitu otomatis Ra jadi penasaran Bun. Ra pengen tau kesibukan dia apa, Ra juga pengen tau progress hidupnya setiap hari seperti apa.”


“Tapi dia gak mau ngasih tau kamu?” tembak Bunda cepat.


Aku tersenyum lebar demi melihat ekspresi Bunda yang sudah sangat penasaran dengan tebakannya benar atau tidak.


“Iya, dia gak mau ngasih tau aku. Bahkan setelah 6 bulan dari dia bilang kesibukannya itu. Ra bakalan lupa kalau seandainya dia gak nyuruh Ra nebak. Atlas itu dengan sengaja nyuruh Ra mikir dan ngasih clue yang gak berguna untuk nebak kegiatan dan kesibukannya itu.”


“Terus masalahnya dimana?” tanya Bunda.


“Kan Bunda tau kalau Ra gak suka ditantang, Ra bakalan melakukan apapun agar Ra bisa menyelesaikan tantangan itu. Ehh dia malah sengaja membuat Ra penasaran setiap harinya, dia selalu cerita kalau lagi melakukan kesibukan itu. Otomatis Ra jadi selalu ingat dan makin penasaran.” Ceritaku dengan mengebu-gebu kepada Bunda.


“Emang kalau kamu gak tau kegiatan dia, kamu jadi rugi?” tanya Bunda sambil menggelengkan kepala.


“Ihh bukan gitu Bunda, tapi masalahnya itu dia nyuruh Ra nebak. Terus dia bilang kalau gak ada satu orangpun yang terlibat dalam kesibukan dia. Atlas juga janji ke Ra bakalan ngasih tau kesibukannya itu tanggal 8 Januari tahun depan, waktu dia ulang tahun.”


“Itu dia janji sendiri atau kamu paksa agar janji itu terbentuk?” tanya Bunda memastikan.


“Hehe,” aku hanya cengegesan menjawab pertanyaan Bunda.


“Tu kan, Bunda udah hafal sama tabiat kamu. Pasti Ra maksa-maksa anak itu supaya membentuk perjanjian sama kamu. Padahal Bunda yakin kalau Atlas itu gak mau kamu tau apa kesibukannya.”


“Lagian dia bikin Ra penasaran, terus nyuruh Ra nebak.”


“Hal itu bisa kamu abaikan saja Ra, kenapa kamu harus ribut cuma karena masalah kegiatan dia. Semua orang berhak punya privasi.”


“Iya Bun, Ra tau. Bahkan dua minggu yang lalu Ra udah bilang ke dia kalau Ra nyerah, Ra gak akan nanya lagi kesibukan dia apa. Terus tanpa perikemanusian dia bilag ke Ra, masa iya seorang Nara menyerah. Bisa juga yaa seorang Nara menyerah, dia ngomong gitu ke Ra. Otomatis Ra jadi merasa tertantang lagi untuk tau kesibukan dia apa.” Aku memberikan argument pendukung kenapa bersikap seperti itu.


Bunda diam sejenak, gerakan tangannya juga terhenti. Bunda sepertinya kebinggungan harus menyalahkan siapa. Seharusnya orang bernama Atlas itu tidak menantang Nara untuk mencari kesibukannya. Sudah semestinya Atlas mengetahui jika Nara adalah tipikal manusia yang mengingat hal kecil tentang orang lain dan Nara juga memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi terhadap orang terdekatnya.


“Ra, belajar untuk mengerti kalau tiap orang ada privasi, Bunda tau kamu kayak gini hanya ke orang yang kamu anggap dekat. Namun kamu harus mengerti sayang, sedekat apapun kamu sama orang lain, tidak semua rasa penasaran kamu itu harus terbalaskan dengan jawaban yang kamu inginkan. Gak semua orang mau kehidupannya diketahui orang lain, sedekat apapun pertemanan kalian.” Bunda berusaha memberikan nasehat kepadaku.


“Nah, Ra paham itu Bun. Tapi ada hal yang bikin Ra kesal sama Atlas. Waktu kuliah pagi tadi, dia bilang ke Ra kalau sebenarnya ada satu orang yang tau kesibukan dia. Terus otomatis Ra kesal dong, Ra merasa terhianati. Berbulan-bulan Ra berusaha menebak, terus Ra setiap hari nanya dan bahas kesibukan itu dengan dia. Ra juga pernah nanya apa ada orang lain yang terlibat dalam kesibukan itu.” Aku menjeda cerita.


“Dulu Atlas bilang gak ada orang lain yang tau?” tanya Bunda karena aku menjeda cerita.


“IYAA BUNN,” jawabku semakin menggebu.


Bunda diseberang sana tertawa renyah saat mendengar dan melihat wajah kesalku dilayar handphonenya. Semakin mengerti alur ceritaku kemana.


“Ra kesal dong Bun, kemaren dia bilang gak ada yang tau. Terus tiba-tiba ada orang lain yang tau. Padahal Ra udah bilang ke dia, kalau perlu bantuan untuk melakukan kesibukan itu kasih tau Ra. Nara harus jadi orang pertama yang dia kasih tau, ehh ternyata malah ada orang lain yang tau.”


“Terus kamu marah-marah sama dia?” tanya Bunda lagi.


“Iya, tapi anehnya dia malah marah balik ke Ra.”


“Kenapa gitu?”


“Jadikan ceritanya Ra itu ngambek sama dia karena ada orang lain tau. Terus dia berusaha buat ngomong sama Ra biar kami baikan lagi. Atlas juga mencari pembenaran, kalau dia cuma bilang gak ada orang yang terlibat, bukan berarti gak ada orang lain yang tau.”


“Tapi Ra tetap ngambek, kesal dan merasa terhianati sebagai temannya.” Ucapku lagi.


“Lalu?” tanya Bunda.


“Waktu mata kuliah praktek di lab, lagi ramai-ramai gitu tadi. Atlas ngomong sama Ra, tapi karena Ra masih kesal sama dia, Ra jawab dengan judes gitu.”


“Kamu bilang apa?”


“Ra bilang, apa sih sok asyik banget. Dengan nada sinis gitu,”Aku tersenyum lebar diakhir kalimat.


“Kok kamu gitu sih Ra, masalah kamu sama dia kan yang tau cuma kalian berdua. Kenapa kamu bersikap ketus gitu di depan teman yang lain, tanpa sadar itu menjatuhkan harga dirinya di depan orang banyak. Lain kali jangan kayak gitu, bersikap dewasa, jangan kayak anak kecil yang harus selalu dituruti kemauannya.” Bunda menceramahiku panjang kali lebar.


“Iya Bun.” Aku tidak memberikan pembelaan karena aku sadar jika yang aku lakukan salah. Aku memang punya hak untuk marah dan kecewa dengan sikap Atlas, tapi aku tidak punya hak untuk bersikap ketus di depan banyak orang.


“Besok minta maaf sama dia dan berhenti untuk menanyakan kesibukan dan kegiatannya. Itu bisa bikin dia gak nyaman, dalam pertemanan seharusnya kamu mensupport dan mendukung teman kamu. Bukan malah ingin tau semua hal tentang kegiatan teman kamu.” Bunda kembali menceramahi.


Aku mengangguk,”Iya Bun, Ra bakalan minta maaf kok.”


“Kamu tau salah kamu dimana?” tanya Bunda dengan aslis terangkat.


“Iya Ra tau kalau sikap Ra itu salah, seharusnya Ra tidak berbicara seperti itu di depan orang banyak. Apalagi Ra tau kalau Atlas lagi banyak fikiran juga. Dia lagi ada banyak kegiatan dan masalah diorganisasinya terus di rumahnya juga ada yang lagi sakit.”


“Seharusnya kamu semakin dewasa Ra, semakin paham kenapa seseorang berbuat seperti itu. Semakin tau jika tiap manusia membawa beban dan masalahnya masing-masing. Gak ada manusia yang gak punya masalah dan beban fikiran. Kamu harus sadar, pasti ada alasan kenapa seseorang melakukan itu. Jangan langsung merasa kecewa, tapi tanya dulu baik-baik apa alasan dia berbuat seperti itu.”


“Iya Bun,”


“Ini terakhir yaa kamu ngomong gitu ke teman kamu.” Bunda memperingati lagi.


“Iya Bunda, siap.”


“Yaa udah Bunda mau masak dulu, kamu istirahat yaa. Pasti capek pulang kuliah, besok jangan lupa minta maaf ke Atlas.”


“Pasti Bun, terima kasih yaa udah dengerin cerita aku. Love you Bun,”


“Love you too sayang, jaga kesehatan yaa disana.”


“Iyaa Bun, salam buat Ayah. Terus bilangin ke Ayah kalau aku kangen banget sama Ayah dan Bunda.”


“Iyaa sayang, see you.”


“See you too.”


Panggilan video itu terputus, meninggalkan aku yang meneteskan air mata karena membenci diri sendiri. Benar kata Bunda, aku sering bersikap egois dan selalu berharap semuanya sesuai dengan harapan dan keinginanku. Entah kenapa aku menjadi mellow begini, padahal yang terjadi sekarang bukanlah masalah besar melainkan kesalapahaman biasa dalam pertemanan.


**



Aku menatap wajah Atlas yang tepat berada di depanku, tidak ada yang memulai percakapan. Jam perkuliahan akan dimulai setengah jam lagi. Aku menyakinkan diri untuk memulai percakapan, aku harus berusaha sebaik mungkin agar tidak terjadi kesalapahaman. Aku hanya memiliki kesempatan berbicara langsung sekarang atau aku harus menunggu besok untuk berbicara.


“Atlas, maafin semua ucapan Ra kemaren.” Aku memulai percakapan, Atlas menatap aku. Ekspresi wajahnya sedikit terkejut karena aku kembali membahas masalah kemaren.


“Lupain aja, percuma juga dibahas lagi. Gak ada gunanya.”


“Aku beneran minta maaf Atlas, aku gak bermaksud untuk ngomong gitu. Aku juga minta maaf karena selalu mendesak kamu untuk ngasih tau kesibukan kamu. Maaf karena aku egois, udah seharusnya aku bisa terima kalau orang lain gak mau cerita ke aku.”


Atlas menarik nafas jengah, terlihat jelas jika dia tidak ingin lagi membahas masalah ini.


“Ra, bahkan kamu gak tau apa alasan aku ngasih tau Haikal tentang kesibukan itu, tapi kamu langsung seakan merasa terhianati. Aku gak tau apa yang kamu fikirkan, terserah kamu mau mengambil kesimpulan seperti apa. Jujur aku menyesal karena terlalu over sharing, seharusnya aku gak ngomong apa-apa dulu. Pasti masalah ini gak akan ada.” Atlas menatap mataku yang juga melihat ke arah bola matanya.


“Atlas, beneran aku minta maaf. Aku cuma,”


“Udahlah Ra lupain aja. Gak ada gunanya dibahas lagi. Maaf karena dulu aku nyuruh kamu nebak sampai bikin kamu kefikiran dan penasaran.” Atlas memotong ucapanku.


“Aku seriusan minta maaf, aku merasa bersalah banget sama kamu.”


“Santai, aku orangnya pemaaf. Aman aja kok,”


Aku menatap ke arah lain, menyembunyikan segala rasa sedih yang berkecambuk di dalam diriku. Aku melirik jam yang ada di dinding bangunan, 25 menit lagi kelas akan dimulai. Berarti aku dan Atlas harus segera ke gedung belajar E untuk mengikuti mata kuliah umum Kewarganegaraan.


“Atlas maaf dan terima kasih untuk kebaikan hati kamu. Maaf karena aku berfikiran kita udah berteman akrab, jadi aku gak memerhatikan batasan-batasan yang ada. Kata-kata aku juga seenaknya sampai membuat kamu tersinggung. Setelah ini aku gak akan nganggu kamu dengan pertanyaan itu, aku juga gak akan membuat kamu ribet dengan salah cerita dan keinginan aku. Kita bisa kembali berteman seperti awal kenal dulu.” Aku memberanikan diri untuk mengucapkan semua kalimat itu.


“Jangan gini Ra, secara gak langsung kamu merusak pertemanan kita. Anggap aja kemaren itu gak terjadi apa-apa. Aku sama sekali gak mengambil hati ucapan kamu yang kemaren. Aku ngasih tau kamu, biar kejadian yang sama gak terulang lagi karena aku gak suka hal kayak gitu.”


“Iya, aku usahakan hal itu gak kejadian lagi.” Aku mengucapkan kalimat itu dengan tulus.


“Aku paham, kamu merasa tidak dianggap sebagai teman karena aku gak mau ngasih tau kesibukan aku ke kamu. Padahal kita udah sangat akrab. Aku sadar itu juga kesalahan aku. Jadi ayo lupakan semuanya dan bersikap seperti biasa kembali.” Atlas tersenyum tipis kearah aku.


Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, tidak tau harus menanggapi seperti apalagi.


“Ayo ke kelas sebentar lagi masuk.” Atlas berdiri dari duduknya.


Aku juga ikut berdiri, sedangkan Atlas sudah lebih dulu pergi dari tempat itu. Aku berjalan sambil menatap punggung Atlas yang semakin menjauh.


Langkah kaki kamu terlalu besar, sampai aku tidak bisa untuk menyejajarkan langkah. Kamu terus melesat ke depan, sedangkan aku tertinggal dibelakang sambil menatap punggung kamu yang terus berjalan dan kemudian menghilang dipersimpangan.


Aku berusaha keras untuk menyejajarkan langkah kita, tapi kamu terus mempercepat ritme perjalanan yang ada. Aku tertinggal jauh dibelakang sana.


Aku hanya bisa diam dan menerka kapan kita akan berjalan beriringan. Takdir yang membawa kita untuk menuju pada tujuan yang sama, perjalanan dan jalur yang kita tempuh juga sama. Namun sayangnya, kita berdua tidak dapat melangkah beriringan menuju tujuan itu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek "Terjebak Gap Year" | Catatan Nadia

Puisi "Kesucian Hati" | Catatan Nadia